Puisi ws rendra alias Si Burung Merak memang terkenal dengan kekuatan kata-katanya. Belum lagi maknanya yang dalam, bahkan terkesan berani dalam menyampaikan kritik. Temanya pun luas, mulai dari tentang cinta, pendidikan, bahkan sampai isu sosial dan religi. Penasaran? Yuk simak bareng-bareng!
1. Pesan Pencopet Kepada Pacarnya
Sitti,
kini aku makin ngerti keadaanmu
Tak ‘kan lagi aku membujukmu
untuk nikah padaku
dan lari dari lelaki yang miaramu
Nasibmu sudah lumayan
Dari babu dari selir kepala jawatan
Apalagi?
Nikah padaku merusak keberuntungan
Masa depanku terang repot
Sebagai copet nasibku untung-untungan
Ini bukan ngesah
Tapi aku memang bukan bapak yang baik
untuk bayi yang lagi kau kandung
Cintamu padaku tak pernah kusangsikan
Tapi cinta cuma nomor dua
Nomor satu carilah keslametan
Hati kita mesti ikhlas
berjuang untuk masa depan anakmu
Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu
Kuraslah hartanya
Supaya hidupmu nanti sentosa
Sebagai kepala jawatan lelakimu normal
suka disogok dan suka korupsi
Bila ia ganti kau tipu
itu sudah jamaknya
Maling menipu maling itu biasa
Lagi pula
di masyarakat maling kehormatan cuma gincu
Yang utama kelicinan
Nomor dua keberanian
Nomor tiga keuletan
Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta
Inilah ilmu hidup masyarakat maling
Jadi janganlah ragu-ragu
Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu
Usahakan selalu menanjak kedudukanmu
Usahakan kenal satu menteri
dan usahakan jadi selirnya
Sambil jadi selir menteri
tetaplah jadi selir lelaki yang lama
Kalau ia menolak kau rangkap
sebagaimana ia telah merangkapmu dengan isterinya
itu berarti ia tak tahu diri
Lalu depak saja dia
Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan
asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya
Ini selalu menarik seorang menteri
Ngomongmu ngawur tak jadi apa
asal bersemangat, tegas, dan penuh keyakinan
Kerna begitulah cermin seorang menteri
Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti
Siang malam jagalah ia
Kemungkinan besar dia lelaki
Ajarlah berkelahi
dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang
Jangan boleh menilai orang dari wataknya
Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan
Kawan bisa baik sementara
Sedang lawan selamanya jahat nilainya
Ia harus diganyang sampai sirna
Inilah hakikat ilmu selamat
Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi
Jangan boleh ia nanti jadi propesor atau guru
itu celaka, uangnya tak ada
Kalau bisa ia nanti jadi polisi atau tentara
supaya tak usah beli beras
kerna dapat dari negara
Dan dengan pakaian seragam
dinas atau tak dinas
haknya selalu utama
Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu
dan wataknya licik seperti saya–nah!
Ini kombinasi sempurna
Artinya ia berbakat masuk politik
Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen
Atau bahkan jadi menteri
Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta
W.S. Rendra memang terkenal dengan bahasanya yang ceplas ceplos dalam berbicara melalui puisi. Kamu nggak perlu menjadi orang yang puitis untuk paham, apa maksud dari puisi beliau satu ini.
Dengan blak-blakan, puisi ws rendra diatas menyindir kehidupan para penguasa dan pemimpin di negara kita, Indonesia. Walaupun ditulis dalam baris yang padat dan panjang, membaca puisi beliau rasanya cukup mudah
karena bahasanya yang simpel dan membuat penasaran sampai akhir kalimatnya.
2. Kenangan dan Kesepian
Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa
sawah dan bambu.
Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.
Cinta yang datang
burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.
Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu.
Puisi ws rendra satu ini bercerita tentang kesepian tokoh utama. Diksi “cinta yang datang” dan “burung tak tergenggam” menggambarkan keadaan tokoh dalam puisi yang ditinggalkan oleh orang yang disayanginya. Itulah alasan tokoh utama merasa murung, sedih, dan sepi.
3. Kangen
Kamu tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
karena cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti aku tungku tanpa api.
Film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta membawa puisi dengan judul Kangen ini menjadi salah satu puisi cinta yang menarik perhatian generasi milenial, disaat popularitas puisi mulai meredup.
Puisi yang menggambarkan kerinduan ini memang sangat pas dengan cerita yang dibawakan dalam film berdusasi 2 jam 20 menit tersebut. Dalam film, puisi ini dibacakan oleh tokoh Rosid yang memiliki perasaan pada Delia, namun terganjal restu agama.
Bercerita tentang sakitnya merindukan orang yang tidak bisa dimiliki, puisi ws rendra satu ini memang bikin hati tersayat-sayat saking sedihnya. Buat kamu yang punya pengalaman yang sama dengan puisi ini, pasti deh, bakalan jadi mellow membacanya.
4. Sajak Anak Muda
Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum.
Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja?
Inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.
Dasar keadilan di dalam pergaulan.
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri.
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.
Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai,
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa henti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?
Kita hanya menjadi alat birokrasi!
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan –
menjadi benalu di dahan.
Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberikan pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan.
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.
Apakah yang terjadi di sekitarku ini?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini?
Apakah ini? Apakah ini?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.
Mengapa harus kita terima hidup begini?
Seseorang berhak diberi ijasah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.
Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja?
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagai bendera-bendera upacara,
sementar hukum dikhianati berulang kali.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.
Kita berada di dalam pusaran tata warna
yang ajaib dan tak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara.
Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakkan oleh angkatan kurang ajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.
Sajak Anak Muda merupakan bentuk kritik keras W.S. Rendra tentang pendidikan di tanah air. Menurutnya,
pendidikan di negara kita lebih mengarah hanya dalam bidang akademik, namun melupakan pendidikan karakter, seperti kejujuran, keadilan, kepedulian dan kepemimpinan.
Puisi ws rendra satu ini sepertinya harus dipahami lagi oleh pemangku kebijakan seperti Mas Menteri kita, Nadiem Makariem.Soalnya, walaupun puisi ini bukan puisi terbaruW.S. Rendra, tapi pesannya tetap relevandengan masa sekarang.
5. Maskumambang
Kabut fajar menyusup dengan perlahan
bunga Bintaro berguguran di halaman perpustakaan
di tepi kolam, di dekat rumpun keladi
aku duduk diatas batu melelehkan airmata
Cucu-cucuku
zaman macam apa,
peradaban macam apa
yang akan kami wariskan kepada kalian.
Jiwaku menyanyikan lagu maskumambang
kami adalah angkatan pongah
besar pasak dari tiang.
kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan,
karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu
dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini
maka rencana masa depan hanyalah spekulasi, keinginan, dan angan-angan
Cucu-cucuku
negara terlanda gelombang zaman edan
cita-cita kebajikan terhempas batu
lesu dipangku batu
tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa
biarpun tercampak diselokan zaman
Bangsa kita kini
seperti dadu terperangkap dalam kaleng hutang
yang dikocok-kocok oleh bangsa adi kuasa
tanpa kita bisa melawannya
semuanya terjadi atas nama pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan
Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum
juga mencontoh tatanan penjajahan
menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan
Yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik
o comberan peradaban,
o martabat bangsa yang kini compang-camping
negara gaduh, bangsa rapuh
Kekuasaan kekerasan meraja lela
Pasar dibakar, kampung dibakar,
gubuk-gubuk gelandangan dibongkar
tanpa ada gantinya
semua atas nama tahayul pembangunan.
restoran dibakar, toko dibakar, gereja dibakar,
atas nama semangat agama yang berkobar
Apabila agama menjadi lencana politik
maka erosi agama pasti terjadi
karena politik tidak punya kepala,
tidak punya telinga, tidak punya hati,
politik hanya mengenal kalah dan menang
kawan dan lawan,
peradaban yang dangkal
Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik
tidak boleh menjamah kemerdekaan iman dan akal
didalam daulat manusia
namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat
dan daulat hukum akal sehat
Matahari yang merayap naik dari ufuk timur
telah melampaui pohon dinding
udara yang ramah menyapa tubuhku
menyebarkan bau bawang yang digoreng di dapur
berdengung sepasang kumbang yang bersenggama
Unik ya, judul puisinya. Usut punya usut, Maskumambang ternyata adalah sejenis tembang yang mengungkapkan perasaan sedih, cemas, dan tidak berdaya dalam menghadapi kehidupan. Judul yang menarik, tidak kalah dengan isi puisi yang super eksentrik.
Kecemasan tentang kehidupan dalam negara kita, itulah kira-kira pesan yang mau disampaikan dalam karyaSi Burung Merak kali ini. Buat kamu yang gampang gusar, pasti akan dengan gampang merasakan kegelisahan W.S.
Rendra dalam puisi tersebut. Bikin pusing pikiran, hati, dan perasaan.
6. Nyanyian Angsa
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan padaku kamu berutang.
Ini biaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu mesti pergi.”
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak ada mega.
Maria Zaitun keluar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di kelangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung
mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru juru rawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu berapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi memeriksa.
Lalu ia berbisik kepada juru rawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget juru rawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimpor dari luar negeri?
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepalaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka).
Jam satu siang.
Matahari masih di puncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Kerna khawatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster keluar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil belingsatan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan cerutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdoa.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu-mm-kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal-usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepalaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga).
Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyeberang jalan
ia kepeleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di kelangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu restoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju luar kota.
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepalaku.
Yang Mulia, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan).
Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkanganku.
Dengarkan, Yang Mulia
Maria Zaitun namaku
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).
Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Hari pun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuk kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapa nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.
(Malaikat penjaga firdaus
tak kau rasakan bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaikat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala).
Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersiuran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali
tampak tenang
dan mengilat di bawah sinar bulan
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pengin lebih jauh cerita
tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala).
Waktu.
Bulan.
Pohonan.
Kali.
Borok.
Sipilis.
Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru. “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang
kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapa namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia berhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya).
Puisi Nyanyian Angsa memang punya cerita yang sangat menyentuh dan bertemakan religi. Bercerita tentang seorang pelacur bernama Maria Zaitun yang sakit sipilis dan penolakan orang-orang terhadapnya, kamu pasti bisa merasakan kesedihan dalam puisi tersebut.
Kalau kamu termasuk orang yang gampang menangis, bisa jadi puisi ini bakalan mengundang air mata kamu mengalir deras. Selain kesedihan yang diceritakan, ada kisah manis tentang pengampunan Tuhan diakhir puisinya, yang juga bikin pembaca pasti bakal tersedu-sedu.
Pesan moral yang bisa kita ambil dalam puisi ws rendra satu ini adalah, bahwa sehina apapun kita, Tuhan itu Maha penyanyang dan pengasih. Sementara, belum tentu orang yang kita anggap hebat ataupun religius, memiliki ketulusan dalam menolong sesama.Bijak banget ya.
7. Jangan Takut Ibu
Jangan Takut Ibu
Matahari musti terbit.
Matahari musti terbenam.
Melewati hari-hari yang fana
Ada kanker payudara, ada encok,
dan ada uban.
Ada Gubernur sarapan bangkai buruh pabrik,
Bupati mengunyah aspal,
Anak-anak sekolah dijadikan bonsai.
Jangan takut, Ibu !
Kita harus bertahan.
Karena ketakutan
meningkatkan penindasan.
Manusia musti lahir.
Manusia musti mati.
Di antara kelahiran dan kematian
bom atom di jatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki,
serdadu-serdadu Jepaang memenggal kepala patriot-patriot Asia,
Ku Klux Klan membakargereja orang Negro,
Teroris Amerika meledakkan bom di Oklahoma
Memanggang orangtua, ibu-ibu dan bayi-bayi,
di Miami turis Eropa dirampok dan dibunuh,
serdadu inggris membantai para pemuda di Irlandia,
orang Irlandia meledakkan bom di London yang tidak aman
Jangan takut, Ibu !
Jangan mau digertak
Jangan mau di ancam
Karena ketakutan
meningkatkan penjajahan
Sungai waktu
menghanyutkan keluh-kesah mimpi yang merangas.
Keringat bumi yang menyangga peradaban insan
menjadi uranium dan mercury.
Tetapi jangan takut, Ibu
Bulan bagai alis mata terbit di ulu hati
Rasi Bima Sakti berzikir di dahi
Aku cium tanganmu, Ibu !
Rahim dam susumu adalahpersemaian harapan
Kekuatan ajaib insan
Dari Zaman ke Zaman
Ibu yang dimaksud dalam puisi ws rendra diatas bukanlah ibunya, melainkan ibu pertiwi, Indonesia. Dalam puisinya, ia menceritakan tentang Indonesia dengan segala tantangan yang muncul dalam kehidupan bernegara, baik dari anak bangsa sendiri, maupun dari mancanegara.
Puisi ini mengajak kita untuk menyadari, bahwa peran kita sebagai anak bangsa adalah untuk merubah keadaan “normal” yang tidak wajar sekarang ini, menjadi lebih baik dan melakukan perombakan besar-besaran. Pastinya puisi ini cocok banget dibawakan dalam bentuk musikalisasi saat acara tujuh belasan.
8. Sajak Sebatang Lisong
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Isu sosial memang seringmenjadi tema yang diangkat dalam puisi W.S. Rendra. Bercerita tentang perjuangan hidup rakyat kecil dan kesejangannya dengan kehidupan pengusaha dan penguasa, puisi ini memang berkesan nyinyir dan pedas dalam meyindir.
W.S.Rendra tahu betul, bahwa seni juga bisa jadi ajang mengkampanyekan isu sosial. Kamu bisa menemukan makna ini dalam puisi diatas, pada kalimat “Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan”.
Melalui puisi ini, W.S. Rendra mengajak kita peduli, dengan cara apapun yang kita bisa, seperti halnya ia dan seni. Pesan yang “ngena” banget pastinya.
9. Orang – Orang Miskin
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Bisa kamu rasakan kan, adanya kemarahan dalam tiap baris puisi ws rendra diatas? Dengan lantang beliau berbicara tentang perlunya kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat kecil. Disini, ia menyuarakan tentang kewajiban pemerintah dan pemegang kebijakan agar peduli pada rakyat kecil.
Tapi bukan cuma pemerintah yang ia kritik, melainkan juga kita semua, sebagai warga negara. Sudahkah kita peduli? Pernahkah kita memikirkan nasib mereka? Atau kita cuma punya ideologi dan beragama untuk diri sendiri, tanpa aplikasi pada sesama? Nusuk banget ya kata-katanya.
10. Gugur
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
“Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya
Melakukan analisis pada puisi W.S Rendra memang nggak selalu sulit. Dengan ba-bi-bu saja beliau menyampaikan ide yang mau dikeluarkan dari kepala, tanpa banyak menggunakan kiasan. Seperti pada puisi Gugur diatas, kamu pasti paham bahwa W.S Rendra sedang bercerita tentang perjuangan.
Dalam puisi diatas, diceritakan tentang seorang pahlawan yang turun ke medan perang hingga akhirnya nyaris mati. Ia punya harapan yang besar, bahwa kemerdekaan dan kebebasan akan jadi bagian penerus bangsa. Disajikan seperti cerita, puisi tersebut tentunya bisa menyentuh hati semua pembacanya.
11. Doa
Allah menatap hati.
Manusia menatap raga.
Hamba bersujud kepada-Mu, ya Allah!
Karena hidupku, karena matiku.
Allah Yang Maha Benar.
Hamba mohon karunia dari kebenaran
yang telah paduka sebarkan.
Jauhkanlah hamba dari hal-hal buruk menurut paduka
dan dengan begitu akan buruk pula bagi hamba.
Dekatkanlah hamba kepada hal-hal baik menurut paduka
dan dengan begitu akan baik pula bagi hamba.
Ya, Allah, ampunilah dosa-dosa hamba
supaya bersih jiwa hamba.
Sehingga dengan begitu mata hamba
bisa melihat cahaya-Mu.
Telinga hamba bisa mendengar bisikan-Mu.
Dan nafas-Mu membimbing kelakuanku.
Amin, ya robbal alamin.
Bukan cuma Chairil Anwar yang menulis puisi dengan judul Doa, W.S. Rendra juga loh ternyata. Ditulis dalam buku kumpulanpuisinya , Doa Untuk Anak Cucu, puisi ini merupakan bentuk sebuah doa yang dituliskan dalam riba dan larik puisi.
Dalam puisinya, W.S Rendra memohon pengampunan, rahmat, dan perlindungan Tuhan dalam nafas islami. Cantik dan puitis, puisi ini juga bisa kok kamu jadikan doa pribadi kamu setelah sholat.
12. Permintaan
Wahai, rembulan yang pudar
jenguklah jendela kekasihku!
Ia tidur sendirian,
hanya berteman hatinya yang rindu.
Siapa bilang puisi ws rendra selalu panjang? Buktinya, puisi tentang cinta berjudul Permintaan ini cuma terdiri dari 4 baris. Pendekkan?
Puisi yang menceritakan tentang kerinduan ini memang terbilang singkat dan jadi tidak biasa untuk penikmat puisi W.S. Rendra. Tapi polanya masih tetap sama, bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti pembacanya.
Bahkan pesannya kerasa, walaupun kalimatnya sedikit!
13. Hai, Ma!
Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku
tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya
ada malam-malam aku menjalani lorong panjang
tanpa tujuan kemana-mana
hawa dingin masuk kebadanku yang hampa
padahal angin tidak ada
bintang-bintang menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan kehadiran kegelapan
tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apa
Hidup memang fana, Ma
tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada
kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara
dijauhi Ayah Bunda dan ditolak para tetangga
atau aku terlantar di pasar
aku bicara tetapi orang-orang tidak mendengar
mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita
aku marah, aku takut, aku gemetar
namun gagal menyusun bahasa
Hidup memang fana,Ma
itu gampang aku terima
tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savana
membuat hidupku tak ada harganya
kadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemari
mulut berbusa sekadar karena tertawa
hidup cemar oleh basa basi
dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan
atau percintaan tanpa asmara
dan sanggama yang tidak selesai
Hidup memang fana tentu saja, Ma
tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku lalu
mendorong aku menjeri-jerit
sambil tak tahu kenapa
rasanya setelah mati berulang kali
Tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini
Tetapi Ma, setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku
Kelenjar-kelenjarku bekerja
sukmaku bernyanyi, dunia hadir
cicak di tembok berbunyi
tukang kebun kedengaran berbicara pada putranya
hidup menjadi nyata, fitrahku kembali
Mengingat kamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari
kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi
kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma?
masing-masing pihak punya cita-cita
masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata
Hai Ma!
apakah kamu ingat
aku peluk kamu di atas perahu
ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciuman di lehermu?
Masyaallah..aku selalu kesengsem pada bau kulitmu
Ingatkah waktu itu aku berkata
kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna
Hehehe waahh..aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini
dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa bahwa kemaren dan esok
adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan sama saja
Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa
Sudah ya, Ma…
Ma yang dimaksudkan dalam puisi Hai Maini bukanlah untuk orangtua, melainkan seorang perempuan yang dicintai tokoh dalam puisi. Secara garis besar, puisi ini bercerita tentang tokoh utama yang menceritakan jatuh bangun kehidupannya kepada kekasihnya.
Kamu juga bisa membaca puisi tersebut dalam bukukumpulan puisinya yang berjudul Puisi-Puisi Cinta.Buku tersebut dibagi kedalam tiga bab berdasarkan masa penulisan tiap puisinya, yaitu Puber Pertama (1954-1958), Puber Kedua (1968-1977), dan Puber Ketiga (1992-2003).
Hai Ma sendiri termasuk dalam puisi Puber Ketiga. Makanya, kompleksitasnya lebih terlihat, dimana pembahasan tentang masalah kehidupan lebih banyak muncul dibanding romantisme ala kekasih sebagaimana biasa dilakukan pasangan muda.
14. Sajak Seonggok Jagung
Seonggok jagung dikamar
Dan seorang pemuda
Yang kurang sekolahan
Memandang jagung itu
Sang pemuda melihat ladang
Ia melihat petani
Ia melihat panen
Dan suatu hari subuh
Para wanita dengan gendongan
Pergi ke pasar
Dan ia juga melihat
Suatu pagi hari
Di dekat sumur
Gadis-gadis bercanda
Sambil menumbuk jagung
Menjadi maisena
Sedang di dalam dapur
Tungku-tungku menyala
Di dalam udara murni
Tercium bau kue jagung
Seonggok jagung dikamar
Dan seorang pemuda
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
Otak dan tangan
Siap bekerja
Tetapi ini :
Seonggok jagung dikamar
Dan seorang pemuda tamat S.L.A
Tak ada uang, tak bisa jadi mahasiswa
Hanya ada seonggok jagung dikamarnya
Ia memandang jagung itu
Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta
Ia melihat dirinya ditendang dari discotheque
Ia melihat sepasang sepatu kenes
di balik etalase
Ia melihat sainganya naik sepeda motor
Ia melihat nomer-nomer lotere
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal
Seonggok jagung ia di kamar
Tidak menyangkut pada akal
Tidak akan menolongnya
Seonggok jagung dikamar
Tak akan menolong seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku
Dan tidak dari kehidupan
Yang tidak terlatih dalam metode
Dan hanya penuh hafalan kesimpulan
Yang hanya terlatih sebagai pemakai
Tatapi kurang latihan bebas berkarya
Pendidikan telah memisahkanya dari kehidupanya
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalanya??
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibukota
Kikuk pulang ke daerahnya??
Apakah gunanya seseorang
Belajar filsafat,teknologi,ilmu kedokteran,atau apa saja.
Ketika ia pulang ke daerahnya,lalu berkata :
“disini aku merasa asing dan sepi”
Kali ini, W.S. Rendra kembali bicara tentang pendidikan tanah air yang perlu dikritisi. Menurutnya, pendidikan hanyalah mengajarkan soal-soal, tanpa memberikan keterampilan dan kreatifitas hidup yang lebih dibutuhkan.
Pendidikan juga cuma menciptakan banyak pengangguran di ibukota, tanpa memberi solusi terhadap tiap lulusannya dalam bertahan hidup. Puisi ini jelas cocok untuk mengkritisi kurikulum pendidikan yang kurang memperhatikan aspek keterampilan dibanding pengetahuan.
15. Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Kalau kamu mau memahami bagaimana perasaan serdadu di medan perang, ada baiknya kamu menyimak puisi ws rendra satu ini. Menceritakan doa seorang serdadu sebelum berperang, puisi ini memberikan gambaran tentang pahitnya penderitaan akibat peperangan.
Dalam puisi tersebut digambarkan bahwa serdadu dalam puisi paham betul bahwa ia harus membunuh. Namun ia memohon ijin terlebih dulu sebelum melakukan kejahatan yang heroik tersebut. Ia juga paham, bahwa bukan kedamaian yang hadir akibat perang, melainkan suasana mencekam.
Jadi, banyak-banyak bersyukur ya, karena kita hidup dalam keadaan merdeka.
16. Hidup Itu Seperti UAP
Hidup itu seperti UAP, yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap !! Ketika Orang memuji MILIKKU, aku berkata bahwa ini HANYA TITIPAN saja.
Bahwa mobilku adalah titipan-NYA,
Bahwa rumahku adalah titipan-NYA,
Bahwa hartaku adalah titipan-NYA,
Bahwa putra-putriku hanyalah titipan-NYA …
Tapi mengapa aku tidak pernah bertanya,
“MENGAPA DIA menitipkannya kepadaku?”
“UNTUK APA DIA menitipkan semuanya kepadaku?”
Dan kalau bukan milikku, apa yang seharusnya aku lakukan untuk milik-NYA ini?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-NYA?
Malahan ketika diminta kembali,
kusebut itu MUSIBAH,
kusebut itu UJIAN,
kusebut itu PETAKA,
kusebut itu apa saja …
Untuk melukiskan, bahwa semua itu adalah DERITA …
Ketika aku berdo’a, kuminta titipan yang cocok dengan KEBUTUHAN DUNIAWI,
Aku ingin lebih banyak HARTA,
Aku ingin lebih banyak MOBIL,
Aku ingin lebih banyak RUMAH,
Aku ingin lebih banyak POPULARITAS,
Dan kutolak SAKIT,
Kutolak KEMISKINAN,
Seolah semua DERITA adalah hukuman bagiku.
Seolah KEADILAN dan KASIH-NYA, harus berjalan seperti penyelesaian matematika dan sesuai dengan kehendakku.
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita itu menjauh dariku,
Dan nikmat dunia seharusnya kerap menghampiriku …
Betapa curangnya aku,
Kuperlakukan DIA seolah “Mitra Dagang” ku dan bukan sebagai “Kekasih”!
Kuminta DIA membalas “perlakuan baikku” dan menolak keputusan-NYA yang tidak sesuai dengan keinginanku …
Duh ALLAH …
Padahal setiap hari kuucapkan,
“Hidup dan Matiku, Hanyalah untuk-MU ya ALLAH, AMPUNI AKU, YA ALLAH …
Mulai hari ini, ajari aku agar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dalam setiap keadaan dan menjadi bijaksana, mau
menuruti kehendakMU saja ya ALLAH …
Sebab aku yakin ENGKAU akan memberikan anugerah dalam hidupku …
KEHENDAKMU adalah yang ter BAIK bagiku ..Ketika aku ingin hidup KAYA, aku lupa, bahwa HIDUP itu sendiri adalah
sebuah KEKAYAAN.
Ketika aku berat utk MEMBERI, aku lupa, bahwa SEMUA yang aku miliki juga adalah PEMBERIAN.
Ketika aku ingin jadi yang TERKUAT, aku lupa, bahwa dalam KELEMAHAN,
Tuhan memberikan aku KEKUATAN.
Ketika aku takut Rugi,
Aku lupa, bahwa HIDUPKU adalah sebuah KEBERUNTUNGAN, kerana AnugerahNYA.
Ternyata hidup ini sangat indah, ketika kita selalu BERSYUKUR kepadaNYA
Bukan karena hari ini INDAH kita BAHAGIA. Tetapi karena kita BAHAGIA, maka hari ini menjadi INDAH.
Bukan karena tak ada RINTANGAN kita menjadi OPTIMIS. Tetapi karena kita OPTIMIS, RINTANGAN akan menjadi tak
terasa.
Bukan karena MUDAH kita YAKIN BISA. Tetapi karena kita YAKIN BISA,
semuanya menjadi MUDAH.
Bukan karena semua BAIK kita TERSENYUM. Tetapi karena kita TERSENYUM, maka semua menjadi BAIK.
Tak ada hari yang MENYULITKAN kita, kecuali kita SENDIRI yang membuat SULIT.
Bila kita tidak dapat menjadi jalan besar, cukuplah menjadi JALAN SETAPAK yang dapat dilalui orang.
Bila kita tidak dapat menjadi matahari, cukuplah menjadi LENTERA yang dapat menerangi sekitar kita.
Bila kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk seseorang, maka BERDOALAH untuk kebaikan.
Puisi diatas merupakan puisi terakhir yang dituliskan W.S Rendra sebelumwafat. Kalau disimak, kamu akan menyadari bahwa pesan terakhir beliau memang sangat bijak dan perlu dibaca oleh semua orang.
Dalam puisinya, W.S. Rendra memberikan pesan bahwa hidup ini adalah suatu amanah dengan segala yang kita miliki adalah titipan Tuhan. Tidak ada yang perlu disombongkan. Ia juga menggambarkan bagaimana harusnya kita lebih banyak bersyukur dan taat kepada Tuhan selama hidup yang singkat ini.
Pesan yang dalam ini memang menimbulkan keharuan dihati pembacanya. Tapi kalau boleh, lebih dari sekedar terharu, harusnya kita juga ikut berubah menjadi pribadi yang lebih baik pastinya.
17. Sajak Pertemuan Mahasiswa
Matahari terbit pagi ini
Mencium bau kencing orok di kaki langit
Melihat kaki coklat menjalar ke lautan
Dan mendengar dengung lebah di dalam hutan,
Lalu kini ia dua penggalah tingginya
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan
Kita bertanya:
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
Orang berkata “Kami adalah maksud baik”
Dan kita bertanya: ”Maksud baik untuk siapa?”
Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras
Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?”
“Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
Perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja
Alat-alat kemajuan yang diimpor
Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
Tentu kita bertanya: “Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”
Sekarang matahari, semakin tinggi
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:
Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
Akan menjadi alat pembebasan
Ataukah alat penindasan?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam
Malam akan tiba. Cicak-cicak berbunyi di tembok
Dan rembulan akan berlayar
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
Akan hidup di dalam bermimpi
Akan tumbuh di kebon belakang
Dan esok hari matahari akan terbit kembali
Sementara hari baru menjelma
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan
Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samodra
Di bawah matahari ini kita bertanya:
Ada yang menangis, ada yang mendera
Ada yang habis, ada yang mengikis
Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana!
Seperti biasanya, W.S. Rendra senang sekali menyuarakan isu sosial melalui karyanya. Pada puisi diatas, ia
menyuarakan tentang pemuda dan mahasiswayang harus menyadari perannya sebagai calon generasi penerus untuk
peduli terhadap bagaimana situasi negara kita.
Melalui puisinya, W.S. Rendra mengajak anak muda untuk memperhatika kondisi rakyat dan kebijkakan-kebijakan yang harusnya memihak masyarakat kecil. Puisi ini pastinya cocok sekali kalau dibacakan dalam orasi mahasiswa.
Puisi ini juga menggambarkan sosok W.S. Rendra yang punya intelektual, sehingga mampu menggunakan media seni untuk berorasi. Keren banget kan.
18. Tuhan, Aku Cinta Pada-Mu
Aku lemas
tapi berdaya
Aku tak sambat rasa sakit
atau gatal.
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak napas
tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar.
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi.
Aku ingin kembali ke jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.
Tuhan, aku cinta pada-Mu.
Selain merupakan contoh puisi religi dari W.S. Rendra, puisi ini juga punya cerita tersendiri. Pasalnya, W.S. Rendra menuliskannya di rumah sakit, menjelang akhir hayatnya.
Sisi religius W.S. Rendra sepertinya memang makin bertambah menjelang tutup usia. Terbukti dengan kepasrahan kepada Tuhan yang digambarkan dalam puisinya yang satu ini. Disini, kita bisa melihat bagaimana penyakit membuat seseorang merasa lelah menjalani hidup.
19. Kupanggil Namamu
Sambil menyeberangi sepi,
Kupanggili namamu, wanitaku
Apakah kau tak mendengar?
Malam yang berkeluh kesah
Memeluk jiwaku yang payah
Yang resah
Karena memberontak terhadap rumah
Memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala
Sia-sia kucari pancaran matamu
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa
Sia-sia
Tak ada yang bisa kucamkan
Sempurnalah kesepianku
Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi
Dan duabelas ekor serigala
Muncul dari masa silamku
Merobek-robek hatiku yang celaka
Berulangkali kupanggil namamu
Dimanakah engkau wanitaku?
Apakah engkau sudah menjadi masa silamku?
Sepertinya bertema cinta, puisi ini sebenarnya justru bercerita tentang kehidupan sosial politik Indonesia.Puisi ws rendra diatas masuk ke dalam buku antologi puisinya yang berjudul Blues Untuk Bonnie.Kumpulan puisi tersebut diterbitkan tahun 1970an, sebagai bentuk kritik terhadap rezim Orde Baru.
Larik puisi tersebut yang berbunyi “karena memberontak terhadap rumah, memberontak terhadap adat yang latah” menggambarkan tentang pemberontakan Rendra terhadap pemerintah karena ketidak puasannya dalam melihat cara kerja mereka.
Kalimat “Sia-sia kucari pancaran matamu” mengartikan bahwa kemerdaan tampaknya tidak punya arti lagi, karena memang kebebasan rakyat pada masa itu ditunggangi oleh penguasa. Benar-benar keren ya, cara beliau menyindir pemerintah. Nggak beringas, melainkan berkelas.
20. Untuk Mamaku Tercinta
Mama yang tercinta
Akhirnya kutemukan juga jodohku
Seseorang bagai kau
Sederhana dalam tingkah dan bicara
Serta sangat menyayangiku
Mama
Burung dara jantan nakal yang sejak dulu kau pelihara
Kini terbang dan menemui jodohnya
Mama
Aku telah menemukan jodohku
Janganlah engkau cemburu
Hendaklah hatimu yang baik itu mengerti
Pada waktunya
Aku mesti kau lepas pergi
Satu lagi puisi yang juga dibawakan dalam film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, adalah puisi Untuk Mamaku Tercinta. Puisi ws rendra tersebut bercerita tentang bagaimana seorang anak lelaki yang akhirnya menemukan jodohnya dan meminta ibunya untuk memberi restu dan tidak cemburu.
Puisi ini cocok banget kamu kasih ke mamamu menjelang menikah, pasti dia terharu, seperti yang dialami ibunda Rosid dalam film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta tadi. Romantis bisa juga kok ke orangtua.
Itulah tadi kumpulan puisi ws rendra yang patut kamu simak. Selain nggak terlalu berat bahasanya, pesan yang disampaikan juga luar biasa dalamnya. Bisa juga jadi insirasi kamu untuk berkarya dibidang sastra. Selamat berpuisi ya!
Leave a Reply